Kamis, 05 November 2015

Pencarian dan Pencitraan Jati Diri



Ada yang mengatakan masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Namun sampai dewasa, masih banyak orang yang belum mengenal jati dirinya. Mengenal jati diri berawal dari proses pencarian jati diri. Hal ini merupakan sesuatu yang alamiah, dialami setiap manusia. Karena manusia memiliki naluri ingin eksis, dikenal dan dihargai.

Saat SMP Saya begitu terobsesi Bill Gates. Saat itu dia telah sukses dengan Microsoft-nya. Saya selalu antusias setiap mendengar namanya, up date produk terbarunya. Pengusaha sukses besar katanya, orang terkaya di Dunia.  Saya ingin seperti dia dan merasa jati diri saya adalah orang sukses terkaya di dunia.

Masa SMA dan tinggal di pesantren saya intensif belajar agama. Kebijaksanaan sebagai orang dewasa mulai terbentuk. Saya sangat menganggumi guru saya Syekh Syarif Hidayatullah (alm.) familiar disapa Kang Ayip. Beliau alim (berilmu tinggi) dan tawadhu’ (rendah hati). Selain memiliki banyak jamaah, nama dan kontribusi beliau sebagai ulama bukan hanya terkenal di Cirebon saja, tetapi sampai ke Arab Saudi, Mesir dan Yaman. Saat itu saya terobsesi menjadi seperti beliau dan merasa inilah jati diri saya. Seorang ulama yang alim dan tawadhu’.

Masa kuliah saya banyak mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dan motivasi. Saya mengagumi guru marketing dan motivasi sukses di Indonesia, Hermawan Kertajaya dan Tung Desem Waringin. Mereka adalah guru terbaik di bidangnya yang banyak menginspirasi dan melahirkan murid yang hebat.  Saya ingin menjadi seperti mereka. Saya merasa itulah jati diri saya. Guru berpengaruh dan dikagumi banyak orang.

Tidak cukup sampai disitu, melihat orang kaya saya merasa jati diri saya orang kaya. Ada orang pinter saya merasa jatidiri saya orang yang pinter. Orang keren dan populer-pun menjadi incaran hati untuk menjadi seperti dia. Saya mencoba meniru, mengikutinya dan nyama-nyamain. Tetapi yang terjadi adalah capek dan gelisah karena kaya nggak kesampaian, terkenal-pun menjauh.

Saya contoh yang baik sebagai orang yang mencari jati diri duniawi. Saya ingin jadi pengusaha sukses, ulama alim dan tawadhu atau guru/pelatih sukses. Saya ingin kaya, pinter, terkenal dan populer. Banyak asesoris yang sensasional dan wow diciptakan untuk mencapainya secara instan. Banyak pula cara-cara yang tidak seharusnya dilakukan.  Semua itu merupakan pencitraan jati diri. Jaim depan orang, sok pinter dan seolah-olah kaya.

Jati diri duniawi banyak terdapat pada sesuatu yang sifatnya fisik seperti harta, popularitas, jabatan dan relasi. Memiliki banyak harta merasa memiliki jati diri sebagai orang kaya raya, padahal mentalnya miskin. Populatritas tinggi, terkenal dimana-mana merasa sebagai orang penting dan populer, padahal hanya perasaan dirinya.  Punya jabatan tinggi, orang penting dan berpengaruh merasa jati dirinya pejabat yang memiliki kekuasaan, padahal gila dihormati. Seperti memiliki relasi luas, merasa jati diri sebagai orang  mudah bergaul dan memiliki banyak kenalan, padahal temenya itu-itu saja. Kesamaan dari pencitraan jati diri adalah menciptakan kegelisahan dan kehampaan.

Jati diri duniawi juga bukan hanya bersifat fisik tetapi juga non-fisik. Seorang kawan saat saya aktif di pers mahasiswa semasa kuliah pernah menceritakan tentang pencarian jati dirinya. Pers mahasiswa terkenal sebagai kelompok mahasiswa yang kritis dan ideologis. Dia belajar berbagai ideologi. Mulai dari beraliran sangat kiri sosialisme radikal hingga beraliran sangat kanan, islam fundamentalis. Berbagai bahan dibaca, dikaji dan dipahami. Semuanya untuk memuaskan daya pikirnya. Namun segala pencarian jati dirinya semua bermuara pada kegelisahan dan kehampaan. Kosong. Tidak ada yang benar-benar membuat hati menjadi lebih tenang dan bahagia.

Pencitraan jati diri bersumber dari pencarian jati diri yang terlalu banyak melihat keluar. Tidak pernah melihat ke dalam. Banyak orang melakukan pencitraan jati diri. Membeli mobil mewah diatas kemampuan membayarnya, demi dibilang orang kaya. Menggunakan berbagai macam assesoris mahal demi gengsi. Banyak bicara dan senang debat agar disangka orang berilmu. Melakukan hal sensasional agar dikenal orang.  Semua itu sama sekali tidak bermanfaat, sangat mengganggu kehidupan. Semua hal itu dilakukan untuk satu tujuan, penghargaan dan penerimaan lingkungan.

Pada suatu titik, saya tersadar. Lelah mengejar semua itu yang tidak ada habisnya. Tidak jelas akhirnya, tidak pernah kesampaian juga :).

Pencarian jati diri yang lebih melihat ke dalam dapat mengantarkan pada penemuan jati diri sejati, bukan jati diri duniawi. Semakin merenung tentang penciptaan diri sendiri, maka semakin menemukan jati diri sejatinya. Sabda Rasulullah SAW dalam salah satu hadisnya “Siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”.


Ciri jati diri sejati  adalah timbulnya perasaan tenang dan bahagia. Karena pada dasarnya manusia mengejar kedua hal tersebut.  Apabila  jati diri kita  rasanya menimbulkan kegelisahan atau setidaknya kehampaan, sampai bertanya “buat apa ini semua?”, berarti sudah di depan pintu gerbang hidayah (petunjuk). Selanjutnya terserah, mau terus mencari atau berhenti pada kebingungan dan kebimbangan. 

------------------------------------------------------------------------------
Catatan ini ditulis oleh Syekh Farhan Robbani, Direktur Program dan Pendidikan Rosehva Indonesia. 

Diterbitkan oleh Koran Harian Amanah Edisi Jum'at, 23 Oktober 2015

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com