Ada yang mengatakan masa
remaja adalah masa pencarian jati diri. Namun sampai dewasa, masih banyak orang
yang belum mengenal jati dirinya. Mengenal jati diri berawal dari proses pencarian
jati diri. Hal ini merupakan sesuatu yang alamiah, dialami setiap manusia. Karena
manusia memiliki naluri ingin eksis, dikenal
dan dihargai.
Saat SMP Saya begitu
terobsesi Bill Gates. Saat itu dia telah sukses dengan Microsoft-nya. Saya selalu antusias setiap mendengar namanya, up date produk terbarunya. Pengusaha
sukses besar katanya, orang terkaya di Dunia. Saya ingin seperti dia dan merasa jati diri
saya adalah orang sukses terkaya di dunia.
Masa SMA dan tinggal di pesantren
saya intensif belajar agama. Kebijaksanaan sebagai orang dewasa mulai terbentuk.
Saya sangat menganggumi guru saya Syekh Syarif Hidayatullah (alm.) familiar disapa
Kang Ayip. Beliau alim (berilmu tinggi) dan tawadhu’ (rendah hati). Selain
memiliki banyak jamaah, nama dan kontribusi beliau sebagai ulama bukan hanya
terkenal di Cirebon saja, tetapi sampai ke Arab Saudi, Mesir dan Yaman. Saat
itu saya terobsesi menjadi seperti beliau dan merasa inilah jati diri saya.
Seorang ulama yang alim dan tawadhu’.
Masa kuliah saya banyak
mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dan motivasi. Saya mengagumi guru
marketing dan motivasi sukses di Indonesia, Hermawan Kertajaya dan Tung Desem
Waringin. Mereka adalah guru terbaik di bidangnya yang banyak menginspirasi dan
melahirkan murid yang hebat. Saya ingin menjadi
seperti mereka. Saya merasa itulah jati diri saya. Guru berpengaruh dan
dikagumi banyak orang.
Tidak cukup sampai disitu,
melihat orang kaya saya merasa jati diri saya orang kaya. Ada orang pinter saya
merasa jatidiri saya orang yang pinter. Orang keren dan populer-pun menjadi incaran hati untuk menjadi seperti dia.
Saya mencoba meniru, mengikutinya dan nyama-nyamain. Tetapi yang terjadi adalah
capek dan gelisah karena kaya nggak
kesampaian, terkenal-pun menjauh.
Saya contoh yang baik
sebagai orang yang mencari jati diri duniawi. Saya ingin jadi pengusaha sukses,
ulama alim dan tawadhu atau guru/pelatih sukses. Saya ingin kaya, pinter,
terkenal dan populer. Banyak asesoris yang sensasional dan wow diciptakan untuk
mencapainya secara instan. Banyak pula cara-cara yang tidak seharusnya
dilakukan. Semua itu merupakan pencitraan
jati diri. Jaim depan orang, sok pinter dan seolah-olah kaya.
Jati diri duniawi banyak
terdapat pada sesuatu yang sifatnya fisik seperti harta, popularitas, jabatan
dan relasi. Memiliki banyak harta merasa memiliki jati diri sebagai orang kaya
raya, padahal mentalnya miskin. Populatritas tinggi, terkenal dimana-mana
merasa sebagai orang penting dan populer, padahal hanya perasaan dirinya. Punya jabatan tinggi, orang penting dan
berpengaruh merasa jati dirinya pejabat yang memiliki kekuasaan, padahal gila
dihormati. Seperti memiliki relasi luas, merasa jati diri sebagai orang mudah bergaul dan memiliki banyak kenalan,
padahal temenya itu-itu saja. Kesamaan dari pencitraan jati diri adalah
menciptakan kegelisahan dan kehampaan.
Jati diri duniawi juga bukan
hanya bersifat fisik tetapi juga non-fisik. Seorang kawan saat saya aktif di
pers mahasiswa semasa kuliah pernah menceritakan tentang pencarian jati
dirinya. Pers mahasiswa terkenal sebagai kelompok mahasiswa yang kritis dan
ideologis. Dia belajar berbagai ideologi. Mulai dari beraliran sangat kiri sosialisme
radikal hingga beraliran sangat kanan, islam fundamentalis. Berbagai bahan
dibaca, dikaji dan dipahami. Semuanya untuk memuaskan daya pikirnya. Namun
segala pencarian jati dirinya semua bermuara pada kegelisahan dan kehampaan.
Kosong. Tidak ada yang benar-benar membuat hati menjadi lebih tenang dan
bahagia.
Pencitraan jati diri
bersumber dari pencarian jati diri yang terlalu banyak melihat keluar. Tidak
pernah melihat ke dalam. Banyak orang melakukan pencitraan jati diri. Membeli
mobil mewah diatas kemampuan membayarnya, demi dibilang orang kaya. Menggunakan
berbagai macam assesoris mahal demi gengsi. Banyak bicara dan senang debat agar
disangka orang berilmu. Melakukan hal sensasional agar dikenal orang. Semua itu sama sekali tidak bermanfaat, sangat
mengganggu kehidupan. Semua hal itu dilakukan untuk satu tujuan, penghargaan
dan penerimaan lingkungan.
Pada suatu titik, saya
tersadar. Lelah mengejar semua itu yang tidak ada habisnya. Tidak jelas
akhirnya, tidak pernah kesampaian juga :).
Pencarian jati diri yang
lebih melihat ke dalam dapat mengantarkan pada penemuan jati diri sejati, bukan
jati diri duniawi. Semakin merenung tentang penciptaan diri sendiri, maka
semakin menemukan jati diri sejatinya. Sabda Rasulullah SAW dalam salah satu
hadisnya “Siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”.
Ciri jati diri sejati adalah timbulnya perasaan tenang dan bahagia.
Karena pada dasarnya manusia mengejar kedua hal tersebut. Apabila jati diri kita rasanya menimbulkan kegelisahan atau setidaknya
kehampaan, sampai bertanya “buat apa ini semua?”, berarti sudah di depan pintu
gerbang hidayah (petunjuk). Selanjutnya terserah, mau terus mencari atau
berhenti pada kebingungan dan kebimbangan.
------------------------------------------------------------------------------
Catatan ini ditulis oleh Syekh Farhan Robbani, Direktur Program dan Pendidikan Rosehva Indonesia.
Diterbitkan oleh Koran Harian Amanah Edisi Jum'at, 23 Oktober 2015
------------------------------------------------------------------------------
Catatan ini ditulis oleh Syekh Farhan Robbani, Direktur Program dan Pendidikan Rosehva Indonesia.
Diterbitkan oleh Koran Harian Amanah Edisi Jum'at, 23 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar