Sebagai manusia biasa ada perasaan tidak ikhlas saat
Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih Ismail. Anak yang
didam-idamkannya selama ini harus ‘hilang’ ditangannya sendiri. Namun rasa
cinta Nabi Ibrahim kepada Allah lebih tinggi dari rasa cinta kepada anaknya.
Perintah Allah untuk menyembelih Ismail tetap dilakukan, walau dengan
berat hati. Allah begitu sayang kepada Nabi Ibrahim, dengan kuasa-Nya Allah
menggantikan Ismail dengan sekor gibas (domba) untuk menjadi kurban. Peristiwa
itulah sejarah adanya Hari Raya Idul Adha.
Melalui peristiwa tersebut, Nabi Ibrahim mewariskan
pengalamannya untuk menjadi ibrah (pelajaran) agar senantiasa
menjadi pribadi ikhlas. Seberat apapun, perintah Allah harus tetap
dilaksanakan. Menjadi pribadi ikhlas merupakan proses panjang dan ujian yang
bertubi. Menghadapi ujian keikhlasan butuh ketekunan dan kesabaran, banyak
orang yang tidak lulus. Allah selalu mengingatkan manusia untuk memperhatikan
keikhlasannya dalam beramal.
Hakikatnya, memperjuangkan keikhlasan bukan untuk
Allah. Allah tidak membutuhkan amalan mahluk sedikitpun. Apabila seluruh
manusia dan jin dari awal bumi diciptakan hingga kiamat berkumpul dan menyembah
Allah, tidak sedikitpun kebesaran Allah bertambah. Begitu juga apabila seluruh
manusia dan jin dari awal semesta diciptakan dan menghina/mencaci maki Allah,
tidak sedikitpun kebesaran Allah berkurang. Allah sudah begitu Maha Agung
dengan segala kekayaan dan kekuasaannya. Perintah menjadi pribadi ikhlas sesungguhnya
adalah untuk kebaikan diri sendiri, yaitu kemerdekaan hati.
Kemerdekaan hati adalah kondisi hati seseorang yang
tidak bergantung dengan mahluk lainnya. Hatinya hanya bergantung kepada Allah
semata. Setiap perbuatan,pikiran dan perasaaan dasarnya adalah hanya perintah
dan larangan Allah. Allah Maha Mengetahui, bahwa ketergantungan manusia kepada
mahluk lain hanya akan menciptakan kesengsaraan. Hanya ketergantungan manusia
kepada Allah-lah yang menciptakan ketenangan. Allah menginginkan manusia bebas
dari ketergantungan mahluk lainnya, agar mendapatkan ketenangan.
Tedapat dua kondisi hati yang tergantung dengan
manusia/mahluk lainnya. yaitu ketergantungan positif dan negatif.
Ketergantungan hati positif cenderung pada perasaan ingin dipuji, dihargai,
dilihat, diketahui, dibalas. Dia senang melakukan kebaikan dan berharap dilihat
dan diperhatikan. Dia merasa sakit hati apabila tidak dihargai, tidak dianggap,
tidak dipuji atau disepelekan. Kata-kata yang sering keluar ”oh, perjuanganku
sia-sia”, “jadi selama ini saya hanya …..”, “kenapa sih kamu tidak menghargai
aku?”, “kok cuma mendapatkan segini” dan sejenisnya.
Ketergantungan hati negatif cenderung takut dicaci,
dihina, direndahkan,diancam dan ditakuti. Orang tersebut senang kebaikan,
tetapi ragu-ragu melakukannya karena takut direndahkan, dihina, dicaci maki
atau di bully. Dia merasa rendah diri dan sakit hati apabila
amalnya dihina, diomongi negatif, dilecehkan dan direndahkan. Kata-kata yang
sering keluar”tuh kan,karyaku percuma”, “aku mau melakukan ini, tapi takut
ini”, “betul ya kata orang itu,aku tuh.”,”aku berheti saja melakukan ini, aku
takut…”dan sejenisnya.
Ketergantungan hati baik sifatnya positif dan negatif,
sama-sama tidak disenangi Allah. Allah tidak menginginkan manusia bergantung
dengan mahluk lainnya. Allah menginginkan manusia hanya bergantung kepadaNya.
Mengapa ?
Allah hanya menginginkan manusia berada dalam kondisi
yang benar-benar merdeka. Bebas dalam arti yang sesungguhnya. Bagi orang ikhlas
selama dasarnya perintah dan larangan Allah, dia tetap melakukannya. Terlihat
atau tidak terlihat, dihina atau dipuji, dihargai atau dicaci maki, direndahkan
atau ditinggikan, menyenangkan atau menyusahkan, semuanya sama. Fokus orang
ikhlas adalah keridhoan Allah. Kepastian yang diperoleh adalah kebahagiaan dan
ketenangan. Kemerdekaan hati sesungguhnya berada pada ketidakbergantungan diri
kita dihadapan manusia lainnya.
Ibrah (pelajaran) Hari Raya Idul Adha adalah
kemerdekaan hati yang dibangun dari niat ikhlas, cara benar dan manfaat jelas.
Perasaan tenang diperoleh dari niat yang ikhlas. Hati seseorang akan merasa
lapang (merdeka) saat ia tidak memiliki kepentingan. Tidak memiliki kepentingan
untuk memperoleh manfaat dari orang lain, fokusnya hanyalah memberi manfaat.
Niat yang kokoh bersumber dari niat beribadah kepada Allah yang secara otomatis
membangun keyakinan kuat dan kelapangan hati. Saat niatnya hanya untuk Allah,
maka ia akan berfikir menggunakan cara yang benar. Output-nya
adalah manfaat,baik berupa ilmu, harta dan kebahagiaan.
Membangun kemerdekaan hati membutuhkan proses dan
waktu yang panjang. Allah memberikan Hari Raya Idul Adha sebagai miniatur
proses membangun kemerdekaan hati. Berqurban berarti meluruskan niat untuk
meng-ikhlas-kan hewan qurban sebagai shodaqoh hanya untuk Alaalah semata. Bukan
untuk kepentingan diri sendiri misalnya untuk keren-kerenan, popularitas atau
dikenal sebagai dermawaan. Bukan daging dan darah hewan qurban yang sampai
kepada Allah, tapi takwa (ikhlas)-nya yang sampai kepada Allah.
Keikhlasan berqurban juga perlu dijaga saat
melaksanakan qurban dengan cara yang baik. Memotong hewan qurban sesuai dengan
syariat Allah yaitu disembelih menggunakan alat yang tajam, harus terputus dua
saluran dileher dan tidak menampakan penyembelihan di depan hewan
lainnya. Semua proses berujung pada nilai manfaat dari hewan qurban tersebut
yaitu timbulnya rasa senang bagi orang yang dapat menikmatilezatnya daging dan
kebahagiaan bagi semua orang. Semoga qurban kita semua diterima
oleh Allah dan mentransformasi diri kita menjadi orang yang lebih ikhlas.
0 komentar:
Posting Komentar